Kali ini kita akan bercerita tentang
seorang laki-laki mulia dan memiliki peranan yang besar dalam sejarah Islam,
seorang panglima Islam, serta kebanggaan suku Kurdi, ia adalah Shalahuddin
Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan Shalahuddin
al-Ayyubi atau juga Saladin. Ia adalah seorang laki-laki yang mungkin sebanding
dengan seribu laki-laki lainnya.
Asal dan Masa Pertumbuhannya
Shalahuddin al-Ayyubi adalah
laki-laki dari kalangan ‘ajam (non-Arab), tidak seperti yang disangkakan
oleh sebagian orang bahwa Shalahuddin adalah orang Arab, ia berasal dari suku
Kurdi. Ia lahir pada tahun 1138 M di Kota Tikrit, Irak, kota yang terletak
antara Baghdad dan Mosul. Ia melengkapi orang-orang besar dalam sejarah Islam
yang bukan berasal dari bangsa Arab, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam
Tirmidzi, dan lain-lain.
Karena suatu alasan, kelahiran
Shalahuddin memaksa ayahnya untuk meninggalkan Tikrit sehingga sang ayah merasa
kelahiran anaknya ini menyusahkan dan merugikannya. Namun kala itu ada orang
yang menasihatinya, “Engkau tidak pernah tahu, bisa jadi anakmu ini akan
menjadi seorang raja yang reputasinya sangat cemerlang.”
Dari Tikrit, keluarga Kurdi ini
berpindah menuju Mosul. Sang ayah, Najmuddin Ayyub tinggal bersama seorang
pemimpin besar lainnya yakni Imaduddin az-Zanki. Imaduddin az-Zanki memuliakan
keluarga ini, dan Shalahuddin pun tumbuh di lingkungan yang penuh keberkahan
dan kerabat yang terhormat. Di lingkungan barunya dia belajar menunggang kuda,
menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai jihad.
Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari Alquran, menghafal
hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mempelajari bahasa dan
sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya.
Diangkat Menjadi Mentri di Mesir
Sebelum kedatangan Shalahuddin
al-Ayyubi, Mesir merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Syiah, Daulah Fathimiyah.
Kemudian pada masa berikutnya Dinasti Fathimiyah yang berjalan stabil mulai
digoncang pergolakan di dalam negerinya. Orang-orang Turki, Sudan, dan Maroko
menginginkan adanya revolusi. Saat itu Nuruddin Mahmud, paman Shalahuddin,
melihat sebuah peluang untuk menaklukkan kerajaan Syiah ini, ia berpandangan
penaklukkan Daulah Fathimiyyah adalah jalan lapang untuk membebaskan Jerusalem
dari kekuasaan Pasukan Salib.
Nuruddin benar-benar merealisasikan
cita-citanya, ia mengirim pasukan dari Damaskus yang dipimpin oleh Asaduddin
Syirkuh untuk membantu keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, di Mesir.
Mengetahui kedatangan pasukan besar ini, sebagian Pasukan Salib yang berada di
Mesir pun lari kocar-kacir sehingga yang dihadapi oleh Asaduddin dan
Shalahuddin hanyalah orang-orang Fathimyah saja. Daulah Fathimiyah berhasil
dihancurkan dan Shalahuddin diangkat menjadi mentri di wilayah Mesir. Namun
tidak lama menjabat sebagai menteri di Mesir, dua bulan kemudian Shalahuddin
diangkat sebagai wakil dari Khalifah Dinasti Ayyubiyah.
Selama dua bulan memerintah Mesir,
Shalahuddin membuat kebijakan-kebijakan progresif yang visioner. Ia membangun dua
sekolah besar berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini ia tujukan
untuk memberantas pemikiran Syiah yang bercokol sekian lama di tanah Mesir.
Hasilnya bisa kita rasakan hingga saat ini, Mesir menjadi salah satu negeri
pilar dakwah Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni. Kebijakan lainnya yang ia
lakukan adalah mengganti penyebutan nama-nama khalifah Fathimiyah dengan
nama-nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah Jumat.
Menaklukkan Jerusalem
Persiapan Shalahuddin untuk
menggempur Pasukan Salib di Jerusalem benar-benar matang. Ia menggabungkan
persiapan keimanan (non-materi) dan persiapan materi yang luar biasa. Persiapan
keimanan ia bangun dengan membersihkan akidah Syiah bathiniyah dari dada-dada
kaum muslimin dengan membangun madrasah dan menyemarakkakn dakwah, persatuan
dan kesatuan umat ditanamkan dan dibangkitkan kesadaran mereka menghadapi
Pasukan Salib. Dengan kampanyenya ini ia berhasil menyatukan penduduk Syam,
Irak, Yaman, Hijaz, dan Maroko di bawah satu komando. Dari persiapan non-materi
ini terbentuklah sebuah pasukan dengan cita-cita yang sama dan memiliki
landasan keimanan yang kokoh.
Dari segi fisik Shalahuddin
mengadakan pembangunan makas militer, benteng-benteng perbatasan, menambah
jumlah pasukan, memperbaiki kapal-kapal perang, membangun rumah sakit, dll.
Pada tahun 580 H, Shalahuddin
menderita penyakit yang cukup berat, namun dari situ tekadnya untuk membebaskan
Jerusalem semakin membara. Ia bertekad apabila sembuh dari sakitnya, ia akan
menaklukkan Pasukan Salib di Jerusalem, membersihkan tanah para nabi tersebut
dari kesyirikan trinitas.
Dengan karunia Allah, Shalahuddin
pun sembuh dari sakitnya. Ia mulai mewujudkan janjinya untuk membebaskan
Jerusalem. Pembebasan Jerusalem bukanlah hal yang mudah, Shalahuddin dan
pasukannya harus menghadapi Pasukan Salib di Hathin terlebih dahulu, perang ini
dinamakan Perang Hathin, perang besar sebagai pembuka untuk menaklukkan Jerusalem.
Dalam perang tersebut kaum muslimin berkekuatan 63.000 pasukan yang terdiri
dari para ulama dan orang-orang shaleh, mereka berhasil membunuh 30000 Pasukan
Salib dan menawan 30000 lainnya.
Setelah menguras energy di Hathin,
akhirnya kaum muslimin tiba di al-Quds, Jerusalem, dengan jumlah pasukan yang
besar tentara-tentara Allah ini mengepung kota suci itu. Perang pun berkecamuk,
Pasukan Salib sekuat tenaga mempertahankan diri, beberapa pemimpin muslim pun
menemui syahid mereka –insya Allah- dalam peperangan ini. Melihat keadaan ini,
kaum muslimin semakin bertambah semangat untuk segera menaklukkan Pasukan
Salib.
Untuk memancing emosi kaum muslimin,
Pasukan Salib memancangkan salib besar di atas Kubatu Shakhrakh. Shalahuddin
dan beberapa pasukannya segera bergerak cepat ke sisi terdekat dengan Kubbatu
Shakhrakh untuk menghentikan kelancangan Pasukan Salib. Kemudian kaum muslimin
berhasil menjatuhkan dan membakar salib tersebut. Setelah itu, jundullah
menghancurkan menara-menara dan benteng-benteng al-Quds.
Pasukan Salib mulai terpojok, merek
tercerai-berai, dan mengajak berunding untuk menyerah. Namun Shalahuddin
menjawab, “Aku tidak akan menyisakan seorang pun dari kaum Nasrani, sebagaimana
mereka dahulu tidak menyisakan seorang pun dari umat Islam (ketika menaklukkan
Jerusalem)”. Namun pimpinan Pasukan Salib, Balian bin Bazran, mengancam “Jika
kaum muslimin tidak mau menjamin keamanan kami, maka kami akan bunuh semua
tahanan dari kalangan umat Islam yang jumlahnya hampir mencapai 4000 orang,
kami juga akan membunuh anak-anak dan istri-istri kami, menghancurkan
bangunan-bangunan, membakar harta benda, menghancurkan Kubatu Shakhrakh,
membakar apapun yang bisa kami bakar, dan setelah itu kami akan hadapi kalian
sampai darah penghabisan! Satu orang dari kami akan membunuh satu orang dari
kalian! Kebaikan apalagi yang bisa engkau harapkan!” Inilah ancaman yang
diberikan Pasukan Salib kepada Shalahuddin dan pasukannya.
Shalahuddin pun mendengarkan dan
menuruti kehendak Pasukan Salib dengan syarat setiap laki-laki dari mereka
membayar 10 dinar, untuk perempuan 5 dinar, dan anak-anak 2 dinar. Pasukan
Salib pergi meninggalkan Jerusalem dengan tertunduk dan hina. Kaum muslimin
berhasil membebaskan kota suci ini untuk kedua kalinya.
Shalahuddin memasuki Jerusalem pada
hari Jumat 27 Rajab 583 H / 2 Oktober 1187, kota tersebut kembali ke pangkuan
umat Islam setelah selama 88 tahun dikuasai oleh orang-orang Nasrani. Kemudian
ia mengeluarkan salib-salib yang terdapat di Masjid al-Aqsha, membersihkannya
dari segala najis dan kotoran, dan mengembalikan kehormatan masjid tersebut.
Wafatnya Sang Pahlawan
Sebagaimana manusia sebelumnya, baik
dari kalangan nabi, rasul, ulama, panglima perang dan yang lainnya, Shalahuddin
pun wafat meninggalkan dunia yang fana ini. Ia wafat pada usia 55 tahun, pada
16 Shafar 589 H bertepatan dengan 21 Febuari 1193 di Kota Damaskus. Ia
meninggal karena mengalami sakit demam selama 12 hari. Orang-orang ramai
menyalati jenazahnya, anak-anaknya Ali, Utsman, dan Ghazi turut hadir
menghantarkan sang ayah ke peristirahatannya. Semoga Allah meridhai, merahmati,
dan membalas jasa-jasa engkau wahai pahlawan Islam, sang pembebas
Jerusalem.