Jumat, 16 Januari 2015

Salman Al-Farisi Radhiallahu ‘anhu

Dari Abdullah bin Abbas Radhiallaahu ‘anhu berkata, “Salman al-Farisi menceritakan biografinya kepadaku dari mulutnya sendiri. Dia berkata, ‘Aku seorang lelaki Persia dari Isfahan, warga suatu desa bernama Jai. Ayahku adalah seorang tokoh masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling disayangi ayahku dari semua makhluk Allah. Karena sangat sayangnya aku tidak diperbolehkan keluar rumahnya, aku diminta senantiasa berada di samping perapian, aku seperti seorang budak saja.
Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi, sehingga aku sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam.
Ayahku memiliki tanah perahan yang luas. Pada suatu hari beliau sibuk mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hari ini aku sibuk di bangunan, aku tidak sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi ke sana!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku melewati salah satu gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri tidak mengerti mengapa ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah saja (melarang aku keluar rumah).
Tatkala aku melewati gereja mereka, dan aku mendengar suara mereka sedang shalat maka aku masuk ke dalam gereja itu untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan?
Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan shalat mereka, dan aku ingin mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata dalam hati, ‘Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kita anut selama ini.’
Demi Allah, aku tidak beranjak dari mereka sampai matahari terbenam. Aku tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Dari mana asal usul agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Dari Syam (Syiria).’
Kemudian aku pulang ke rumah ayahku. Padahal ayahku telah mengutus seseorang untuk mencariku. Sementara aku tidak mengerjakan tugas dari ayahku sama sekali. Maka ketika aku telah bertemu ayahku, beliau bertanya, ‘Anakku, ke mana saja kamu pergi?
Bukankah aku telah berpesan kepadamu untuk mengerjakan apa yang aku perintahkan itu?’ Aku menjawab, ‘Ayah, aku lewat pada suatu kaum yang sedang sembahyang di dalam gereja, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum. Demi Allah, aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam.’
Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak ada kebaikan sedikitpun dalam agama itu. Agamamu dan agama ayahmu lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah, ‘Demi Allah, sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’ Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau merantai kakiku, dan aku dipenjara di dalam rumahnya.
Suatu hari ada serombongan orang dari agama Nasrani diutus menemuiku, maka aku sampaikan kepada mereka, ‘Jika ada rombongan dari Syiria terdiri dari para pedagang Nasrani, maka supaya aku diberitahu.’ Aku juga meminta agar apabila para pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke negrinya, memberiku izin bisa menemui mereka.
Ketika para pedagang itu hendak kembali ke negrinya, mereka memberitahu kepadaku. Kemudian rantai besi yang mengikat kakiku aku lepas, lantas aku pergi bersama mereka sehingga aku tiba di Syiria.
Sesampainya aku di Syiria, aku bertanya, ‘Siapakah orang yang ahli agama di sini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup (pendeta) yang tinggal di gereja.’ Kemudian aku menemuinya. Kemudian aku berkata kepada pendeta itu, ‘Aku sangat mencintai agama ini, dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di gerejamu, agar aku dapat belajar denganmu dan sembahyang bersama-sama kamu.’ Pendeta itu menjawab, ‘Silahkan.’
Maka akupun tinggal bersamanya.
Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia menyuruh dan menganjurkan umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah itu terkumpul dan diserahkan kepadanya, ia menyimpan sedekah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada orang-orang miskin, sehingga terkumpullah 7 peti emas dan perak.
Aku sangat benci perbuatan pendeta itu. Kemudian dia meninggal. Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk mengebumikannya. Ketika itu aku sampaikan kepada khalayak, ‘Sebenarnya, pendeta ini adalah seorang yang berperangai buruk, menyuruh dan menganjurkan kalian untuk bersedekah. Tetapi jika sedekah itu telah terkumpul, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri, tidak memberikannya kepada orang-orang miskin barang sedikitpun.’
Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, ‘Apa buktinya bahwa kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku menjawab, ‘Marilah aku tunjukkan kepada kalian simpanannya itu.’ Mereka berkata, Baik, tunjukkan simpanan tersebut kepada kami.’
Lalu Aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu. Kemudian mereka mengeluarkan sebanyak 7 peti yang penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka menyaksikan betapa banyaknya simpanan pendeta itu, mereka berkata, ‘Demi Allah, selamanya kami tidak akan menguburnya.’ Kemudian mereka menyalib pendeta itu pada tiang dan melempari jasadnya dengan batu.
Kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya. Aku tidak pernah melihat seseorang yang tidak mengerjakan shalat lima waktu (bukan seorang muslim) yang lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencintai akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka aku pun sangat mencintainya dengan cinta yang tidak pernah aku berikan kepada selainnya. Aku tinggal bersamanya beberapa waktu.
Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersamamu, dan aku sangat mencintaimu, belum pernah ada seorangpun yang aku cintai seperti cintaku kepadamu, padahal sebagaimana kamu lihat, telah menghampirimu saat berlakunya taqdir Allah, kepada siapakah aku ini engkau wasiatkan, apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku sudah tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti aku.
Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masyarakatpun mengganti ajaran yang benar dan meninggalkannya sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal di Mosul (kota di Irak), yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini, temuilah ia di sana!’
Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui seseorang di Mosul. Aku berkata, ‘Wahai Fulan, sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan kepadaku menjelang kematiannya agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa engkau memiliki keyakinan sebagaimana dia.’
Kemudian orang yang kutemui itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku. Aku pun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat baik sebagaimana yang diterangkan Si Fulan kepadaku. Namun ia pun dihampiri kematian. Dan ketika kematian menjelang, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini taqdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tak ada seorangpun sepengetahuanku yang seperti aku kecuali seorang di Nashibin (kota di Aljazair), yakni Fulan. Temuilah ia!’
Maka setelah beliau wafat, aku menemui seseorang yang di Nashibin itu. Setelah aku bertemu dengannya, aku menceritakan keadaanku dan apa yang di perintahkan si Fulan kepadaku.
Orang itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku mulai hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si Fulan yang aku pernah hidup bersamanya. Aku tinggal bersama seseorang yang sangat baik.
Namun, kematian hampir datang menjemputnya. Dan di ambang kematiannya aku berkata, ‘Wahai Fulan, Ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepada Fulan, dan kemarin Fulan mewasiatkan aku kepadamu? Sepeninggalmu nanti, kepada siapakah aku akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada seorangpun yang aku kenal sehingga aku perintahkan kamu untuk mendatanginya kecuali seseorang yang tinggal di Amuria (kota di Romawi). Orang itu menganut keyakinan sebagaimana yang kita anut, jika kamu berkenan, silahkan mendatanginya. Dia pun menganut sebagaimana yang selama ini kami pegang.’
Setelah seseorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi menuju Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku kepadanya. Dia berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’
Akupun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya yang sekeyakinan.
Di tempat orang itu, aku bekerja, sehingga aku memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian taqdir Allah pun berlaku untuknya. Ketika itu aku berkata, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku untuk menemui Si Fulan, kemudian Si Fulan juga mewasiatkan aku agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku untuk menemuimu, sekarang kepada siapakah aku ini akan engkau wasiatkan?dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’
Kemudian orang inipun meninggal dunia. Dan sepeninggalnya, aku masih tinggal di Amuria sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Pada suatu hari, lewat di hadapanku serombongan orang dari Kalb, mereka adalah pedagang. Aku berkata kepada para pedagang itu, ‘Bisakah kalian membawaku menuju tanah Arab dengan imbalan sapi dan kambing-kambingku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu aku memberikan ternakku kepada mereka.
Mereka membawaku, namun ketika tiba di Wadil Qura, mereka menzha-limiku, dengan menjualku sebagai budak ke tangan seorang Yahudi.
Kini aku tinggal di tempat seorang Yahudi. Aku melihat pohon-pohon kurma, aku berharap, mudah-mudahan ini daerah sebagaimana yang disebutkan si Fulan kepadaku. Aku tidak biasa hidup bebas.
Ketika aku berada di samping orang Yahudi itu, keponakannya datang dari Madinah dari Bani Quraidzah. Ia membeliku darinya. Kemudian membawaku ke Madinah. Begitu aku tiba di Madinah aku segera tahu berdasarkan apa yang disebutkan si Fulan kepadaku. Sekarang aku tinggal di Madinah.
Allah mengutus seorang RasulNya, dia telah tinggal di Makkah beberapa lama, yang aku sendiri tidak pernah mendengar ceritanya karena kesibukanku sebagai seorang budak. Kemudian Rasul itu berhijrah ke Madinah. Demi Allah, ketika aku berada di puncak pohon kurma majikanku karena aku bekerja di perkebunan, sementara majikanku duduk, tiba-tiba salah seorang keponakannya datang menghampiri, kemudian berkata, ‘Fulan,
Celakalah Bani Qailah (suku Aus dan Khazraj). Mereka kini sedang berkumpul di Quba’ menyambut seseorang yang datang dari Makkah pada hari ini. Mereka percaya bahwa orang itu Nabi.’
Tatkala aku mendengar pembicaraannya, aku gemetar sehingga aku khawatir jatuh menimpa majikanku. Kemudian aku turun dari pohon, dan bertanya kepada keponakan majikanku, ‘Apa tadi yang engkau katakan? Apa tadi yang engkau katakan?’ Majikanku sangat marah, dia memukulku dengan pukulan keras. Kemudian berkata, ‘Apa urusanmu menanyakan hal ini, Lanjutkan pekerjaanmu.’
Aku menjawab, ‘Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin mencari kejelasan terhadap apa yang dikatakan. Padahal sebenarnya saya telah memiliki beberapa informasi mengenai akan diutusnya seorang nabi itu.’
Pada sore hari, aku mengambil sejumlah bekal kemudian aku menuju Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, ketika itu beliau sedang berada di Quba, lalu aku menemui beliau. Aku berkata, ‘Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah seorang yang shalih, engkau memiliki beberapa orang sahabat yang dianggap asing dan miskin. Aku membawa sedikit sedekah, dan menurutku kalian lebih berhak menerima sedekahku ini daripada orang lain.’
Aku pun menyerahkan sedekah tersebut kepada beliau, kemudian Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, ‘Silahkan kalian makan, sementara beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya. Aku berkata, ‘Ini satu tanda kenabiannya.’
Aku pulang meninggalkan beliau untuk mengumpulkan sesuatu. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam pun berpindah ke Madinah. Kemudian pada suatu hari, aku mendatangi beliau sambil berkata, ‘Aku memperhatikanmu tidak memakan pemberian berupa sedekah, sedangkan ini merupakan hadiah sebagai penghormatanku kepada engkau.’
Kemudian Rasulullah makan sebagian dari hadiah pemberianku dan memerintahkan para sahabat untuk memakannya, mereka pun makan hadiahku itu. Aku berkata dalam hati, ‘Inilah tanda kenabian yang kedua.’
Selanjutnya aku menemui beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berada di kuburan Baqi’ al-Gharqad, beliau sedang mengantarkan jenazah salah seorang sahabat, beliau mengenakan dua lembar kain, ketika itu beliau sedang duduk di antara para sahabat, aku mengucapkan salam kepada beliau. Kemudian aku berputar memperhatikan punggung beliau, adakah aku akan melihat cincin yang disebutkan Si Fulan kepadaku.
Pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku sedang memperhatikan beliau, beliau mengetahui bahwa aku sedang mencari kejelasan tentang sesuatu ciri kenabian yang disebutkan salah seorang kawanku. Kemudian beliau melepas kain selendang beliau dari punggung, aku berhasil melihat tanda cincin kenabian dan aku yakin bahwa beliau adalah seorang Nabi. Maka aku telungkup di hadapan beliau dan memeluknya seraya menangis.
Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Geserlah kemari,’ maka akupun bergeser dan menceritakan perihal keadaanku sebagaimana yang aku ceritakan kepadamu ini wahai Ibnu Abbas. Kemudian para sahabat takjub kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam ketika mendengar cerita perjalanan hidupku itu.”
Salman sibuk bekerja sebagai budak. Dan perbudakan inilah yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar dan Uhud. “Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam suatu hari bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepada majikanmu untuk bebas, wahai Salman!’ Maka majikanku membebaskan aku dengan tebusan 300 pohon kurma yang harus aku tanam untuknya dan 40 uqiyah.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam mengumpulkan para sahabat dan bersabda, ‘Berilah bantuan kepada saudara kalian ini.’ Mereka pun membantuku dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seorang sahabat ada yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon, dan ada yang 10 pohon, masing-masing sahabat memberiku pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.
Setelah terkumpul Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Berangkatlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan meletakkannya di tanganku.’ Aku pun menanamnya dengan dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam dan memberitahukan perihalku. Kemudian Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami dekatkan pohon (tunas) kurma itu kepada beliau dan Rasulullah pun meletakkannya di tangan beliau. Maka, demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, tidak ada sebatang pohon pun yang mati.
Untuk tebusan pohon kurma sudah terpenuhi, aku masih mempunyai tanggungan uang sebesar 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam membawa emas sebesar telur ayam hasil dari rampasan perang. Lantas beliau bersabda, ‘Apa yang telah dilakukan Salman al-Farisi?’ Kemudian aku dipanggil beliau, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah emas ini, gunakan untuk melengkapi tebusanmu wahai Salman!’
Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam, bagaimana status emas ini bagiku? Rasulullah menjawab, ‘Ambil saja! Insya Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan kepadanya.’ Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, berat ukuran emas itu 40 uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan.

Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada satu peperangan yang tidak aku ikuti.”

Senin, 29 Desember 2014

Shalahuddin al-Ayyubi


Kali ini kita akan bercerita tentang seorang laki-laki mulia dan memiliki peranan yang besar dalam sejarah Islam, seorang panglima Islam, serta kebanggaan suku Kurdi, ia adalah Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan Shalahuddin al-Ayyubi atau juga Saladin. Ia adalah seorang laki-laki yang mungkin sebanding dengan seribu laki-laki lainnya.
Asal dan Masa Pertumbuhannya
Shalahuddin al-Ayyubi adalah laki-laki dari kalangan ‘ajam (non-Arab), tidak seperti yang disangkakan oleh sebagian orang bahwa Shalahuddin adalah orang Arab, ia berasal dari suku Kurdi. Ia lahir pada tahun 1138 M di Kota Tikrit, Irak, kota yang terletak antara Baghdad dan Mosul. Ia melengkapi orang-orang besar dalam sejarah Islam yang bukan berasal dari bangsa Arab, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan lain-lain.
Karena suatu alasan, kelahiran Shalahuddin memaksa ayahnya untuk meninggalkan Tikrit sehingga sang ayah merasa kelahiran anaknya ini menyusahkan dan merugikannya. Namun kala itu ada orang yang menasihatinya, “Engkau tidak pernah tahu, bisa jadi anakmu ini akan menjadi seorang raja yang reputasinya sangat cemerlang.”
Dari Tikrit, keluarga Kurdi ini berpindah menuju Mosul. Sang ayah, Najmuddin Ayyub tinggal bersama seorang pemimpin besar lainnya yakni Imaduddin az-Zanki. Imaduddin az-Zanki memuliakan keluarga ini, dan Shalahuddin pun tumbuh di lingkungan yang penuh keberkahan dan kerabat yang terhormat. Di lingkungan barunya dia belajar menunggang kuda, menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai jihad. Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari Alquran, menghafal hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mempelajari bahasa dan sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya.
Diangkat Menjadi Mentri di Mesir
Sebelum kedatangan Shalahuddin al-Ayyubi, Mesir merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Syiah, Daulah Fathimiyah. Kemudian pada masa berikutnya Dinasti Fathimiyah yang berjalan stabil mulai digoncang pergolakan di dalam negerinya. Orang-orang Turki, Sudan, dan Maroko menginginkan adanya revolusi. Saat itu Nuruddin Mahmud, paman Shalahuddin, melihat sebuah peluang untuk menaklukkan kerajaan Syiah ini, ia berpandangan penaklukkan Daulah Fathimiyyah adalah jalan lapang untuk membebaskan Jerusalem dari kekuasaan Pasukan Salib.
Nuruddin benar-benar merealisasikan cita-citanya, ia mengirim pasukan dari Damaskus yang dipimpin oleh Asaduddin Syirkuh untuk membantu keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, di Mesir. Mengetahui kedatangan pasukan besar ini, sebagian Pasukan Salib yang berada di Mesir pun lari kocar-kacir sehingga yang dihadapi oleh Asaduddin dan Shalahuddin hanyalah orang-orang Fathimyah saja. Daulah Fathimiyah berhasil dihancurkan dan Shalahuddin diangkat menjadi mentri di wilayah Mesir. Namun tidak lama menjabat sebagai menteri di Mesir, dua bulan kemudian Shalahuddin diangkat sebagai wakil dari Khalifah Dinasti Ayyubiyah.
Selama dua bulan memerintah Mesir, Shalahuddin membuat kebijakan-kebijakan progresif yang visioner. Ia membangun dua sekolah besar berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini ia tujukan untuk memberantas pemikiran Syiah yang bercokol sekian lama di tanah Mesir. Hasilnya bisa kita rasakan hingga saat ini, Mesir menjadi salah satu negeri pilar dakwah Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni. Kebijakan lainnya yang ia lakukan adalah mengganti penyebutan nama-nama khalifah Fathimiyah dengan nama-nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah Jumat.
Menaklukkan Jerusalem
Persiapan Shalahuddin untuk menggempur Pasukan Salib di Jerusalem benar-benar matang. Ia menggabungkan persiapan keimanan (non-materi) dan persiapan materi yang luar biasa. Persiapan keimanan ia bangun dengan membersihkan akidah Syiah bathiniyah dari dada-dada kaum muslimin dengan membangun madrasah dan menyemarakkakn dakwah, persatuan dan kesatuan umat ditanamkan dan dibangkitkan kesadaran mereka menghadapi Pasukan Salib. Dengan kampanyenya ini ia berhasil menyatukan penduduk Syam, Irak, Yaman, Hijaz, dan Maroko di bawah satu komando. Dari persiapan non-materi ini terbentuklah sebuah pasukan dengan cita-cita yang sama dan memiliki landasan keimanan yang kokoh.
Dari segi fisik Shalahuddin mengadakan pembangunan makas militer, benteng-benteng perbatasan, menambah jumlah pasukan, memperbaiki kapal-kapal perang, membangun rumah sakit, dll.
Pada tahun 580 H, Shalahuddin menderita penyakit yang cukup berat, namun dari situ tekadnya untuk membebaskan Jerusalem semakin membara. Ia bertekad apabila sembuh dari sakitnya, ia akan menaklukkan Pasukan Salib di Jerusalem, membersihkan tanah para nabi tersebut dari kesyirikan trinitas.
Dengan karunia Allah, Shalahuddin pun sembuh dari sakitnya. Ia mulai mewujudkan janjinya untuk membebaskan Jerusalem. Pembebasan Jerusalem bukanlah hal yang mudah, Shalahuddin dan pasukannya harus menghadapi Pasukan Salib di Hathin terlebih dahulu, perang ini dinamakan Perang Hathin, perang besar sebagai pembuka untuk menaklukkan Jerusalem. Dalam perang tersebut kaum muslimin berkekuatan 63.000 pasukan yang terdiri dari para ulama dan orang-orang shaleh, mereka berhasil membunuh 30000 Pasukan Salib dan menawan 30000 lainnya.
Setelah menguras energy di Hathin, akhirnya kaum muslimin tiba di al-Quds, Jerusalem, dengan jumlah pasukan yang besar tentara-tentara Allah ini mengepung kota suci itu. Perang pun berkecamuk, Pasukan Salib sekuat tenaga mempertahankan diri, beberapa pemimpin muslim pun menemui syahid mereka –insya Allah- dalam peperangan ini. Melihat keadaan ini, kaum muslimin semakin bertambah semangat untuk segera menaklukkan Pasukan Salib.
Untuk memancing emosi kaum muslimin, Pasukan Salib memancangkan salib besar di atas Kubatu Shakhrakh. Shalahuddin dan beberapa pasukannya segera bergerak cepat ke sisi terdekat dengan Kubbatu Shakhrakh untuk menghentikan kelancangan Pasukan Salib. Kemudian kaum muslimin berhasil menjatuhkan dan membakar salib tersebut. Setelah itu, jundullah menghancurkan menara-menara dan benteng-benteng al-Quds.
Pasukan Salib mulai terpojok, merek tercerai-berai, dan mengajak berunding untuk menyerah. Namun Shalahuddin menjawab, “Aku tidak akan menyisakan seorang pun dari kaum Nasrani, sebagaimana mereka dahulu tidak menyisakan seorang pun dari umat Islam (ketika menaklukkan Jerusalem)”. Namun pimpinan Pasukan Salib, Balian bin Bazran, mengancam “Jika kaum muslimin tidak mau menjamin keamanan kami, maka kami akan bunuh semua tahanan dari kalangan umat Islam yang jumlahnya hampir mencapai 4000 orang, kami juga akan membunuh anak-anak dan istri-istri kami, menghancurkan bangunan-bangunan, membakar harta benda, menghancurkan Kubatu Shakhrakh, membakar apapun yang bisa kami bakar, dan setelah itu kami akan hadapi kalian sampai darah penghabisan! Satu orang dari kami akan membunuh satu orang dari kalian! Kebaikan apalagi yang bisa engkau harapkan!” Inilah ancaman yang diberikan Pasukan Salib kepada Shalahuddin dan pasukannya.
Shalahuddin pun mendengarkan dan menuruti kehendak Pasukan Salib dengan syarat setiap laki-laki dari mereka membayar 10 dinar, untuk perempuan 5 dinar, dan anak-anak 2 dinar. Pasukan Salib pergi meninggalkan Jerusalem dengan tertunduk dan hina. Kaum muslimin berhasil membebaskan kota suci ini untuk kedua kalinya.
Shalahuddin memasuki Jerusalem pada hari Jumat 27 Rajab 583 H / 2 Oktober 1187, kota tersebut kembali ke pangkuan umat Islam setelah selama 88 tahun dikuasai oleh orang-orang Nasrani. Kemudian ia mengeluarkan salib-salib yang terdapat di Masjid al-Aqsha, membersihkannya dari segala najis dan kotoran, dan mengembalikan kehormatan masjid tersebut.
Wafatnya Sang Pahlawan
Sebagaimana manusia sebelumnya, baik dari kalangan nabi, rasul, ulama, panglima perang dan yang lainnya, Shalahuddin pun wafat meninggalkan dunia yang fana ini. Ia wafat pada usia 55 tahun, pada 16 Shafar 589 H bertepatan dengan 21 Febuari 1193 di Kota Damaskus. Ia meninggal karena mengalami sakit demam selama 12 hari. Orang-orang ramai menyalati jenazahnya, anak-anaknya Ali, Utsman, dan Ghazi turut hadir menghantarkan sang ayah ke peristirahatannya. Semoga Allah meridhai, merahmati, dan  membalas jasa-jasa engkau wahai pahlawan Islam, sang pembebas Jerusalem.

Senin, 24 November 2014

Umar bin Abdul Aziz ra

Saat itu tengah malam di kota Madinah. Kebanyakan warga kota sudah tidur. Umar bin Khatab r.a. berjalan menyelusuri jalan-jalan di kota. Dia coba untuk tidak melewatkan satupun dari pengamatannya. Menjelang dini hari, pria ini lelah dan memutuskan untuk beristirahat. Tanpa sengaja, terdengarlah olehnya percakapan antara ibu dan anak perempuannya dari dalam rumah dekat dia beristirahat.
“Nak, campurkanlah susu yang engkau perah tadi dengan air,” kata sang ibu.
“Jangan ibu. Amirul mukminin sudah membuat peraturan untuk tidak menjual susu yang dicampur air,” jawab sang anak.
“Tapi banyak orang melakukannya Nak, campurlah sedikit saja. Tho insyaallah Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” kata sang ibu mencoba meyakinkan anaknya.
“Ibu, Amirul Mukminin mungkin tidak mengetahuinya. Tapi, Rab dari Amirul Mukminin pasti melihatnya,” tegas si anak menolak.
Mendengar percakapan ini, berurailah air mata pria ini. Karena subuh menjelang, bersegeralah dia ke masjid untuk memimpin shalat Subuh. Sesampainya di rumah, dipanggilah anaknya untuk menghadap dan berkata, “Wahai Ashim putra Umar bin Khattab. Sesungguhnya tadi malam saya mendengar percakapan istimewa. Pergilah kamu ke rumah si anu dan selidikilah keluarganya.”
Ashim bin Umar bin Khattab melaksanakan perintah ayahndanya yang tak lain memang Umar bin Khattab, Khalifah kedua yang bergelar Amirul Mukminin. Sekembalinya dari penyelidikan, dia menghadap ayahnya dan mendengar ayahnya berkata,
“Pergi dan temuilah mereka. Lamarlah anak gadisnya itu untuk menjadi isterimu. Aku lihat insyaallah ia akan memberi berkah kepadamu dan anak keturunanmu. Mudah-mudahan pula ia dapat memberi keturunan yang akan menjadi pemimpin bangsa.”
Begitulah, menikahlah Ashim bin Umar bin Khattab dengan anak gadis tersebut. Dari pernikahan ini, Umar bin Khattab dikaruniai cucu perempuan bernama Laila, yang nantinya dikenal dengan Ummi Ashim. Suatu malam setelah itu, Umar bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat seorang pemuda dari keturunannya, bernama Umar, dengan kening yang cacat karena luka. Pemuda ini memimpin umat Islam seperti dia memimpin umat Islam. Mimpi ini diceritakan hanya kepada keluarganya saja. Saat Umar meninggal, cerita ini tetap terpendam di antara keluarganya.
Pada saat kakeknya Amirul Mukminin Umar bin Khattab terbunuh pada tahun 644 Masehi, Ummi Ashim turut menghadiri pemakamannya. Kemudian Ummi Ashim menjalani 12 tahun kekhalifahan Ustman bin Affan sampai terbunuh pada tahun 656 Maserhi. Setelah itu, Ummi Ashim juga ikut menyaksikan 5 tahun kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Hingga akhirnya Muawiyah berkuasa dan mendirikan Dinasti Umayyah.
Pergantian sistem kekhalifahan ke sistem dinasti ini sangat berdampak pada Negara Islam saat itu. Penguasa mulai memerintah dalam kemewahan. Setelah penguasa yang mewah, penyakit-penyakit yang lain mulai tumbuh dan bersemi. Ambisi kekuasaan dan kekuatan, penumpukan kekayaan, dan korupsi mewarnai sejarah Islam dalam Dinasti Umayyah. Negara bertambah luas, penduduk bertambah banyak, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, tapi orang-orang semakin merindukan ukhuwah persaudaraan, keadilan dan kesahajaan Ali, Utsman, Umar, dan Abu Bakar. Status kaya-miskin mulai terlihat jelas, posisi pejabat-rakyat mulai terasa. Kafir dhimni pun mengeluhkan resahnya, “Sesungguhnya kami merindukan Umar, dia datang ke sini menanyakan kabar dan bisnis kami. Dia tanyakan juga apakah ada hukum-hukumnya yang merugikan kami. Kami ikhlas membayar pajak berapapun yang dia minta. Sekarang, kami membayar pajak karena takut.”
Kemudian Muawiyah membaiat anaknya Yazid bin Muawiyah menjadi penggantinya. Tindakan Muawiyah ini adalah awal malapetaka dinasti Umayyah yang dia buat sendiri. Yazid bukanlah seorang amir yang semestinya. Kezaliman dilegalkan dan tindakannya yang paling disesali adalah membunuh sahabat-sahabat Rasul serta cucunya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Yazid mati menggenaskan tiga hari setelah dia membunuh Husein.
Akan tetapi, putra Yazid, Muawiyah bin Yazid, adalah seorang ahli ibadah. Dia menyadari kesalahan kakeknya dan ayahnya dan menolak menggantikan ayahnya. Dia memilih pergi dan singgasana dinasti Umayah kosong. Terjadilah rebutan kekuasaan dikalangan bani Umayah. Abdullah bin Zubeir, seorang sahabat utama Rasulullah dicalonkan untuk menjadi amirul mukminin. Namun, kelicikan mengantarkan Marwan bin Hakam, bani Umayah dari keluarga Hakam, untuk mengisi posisi kosong itu dan meneruskan sistem dinasti. Marwan bin Hakam memimpin selama sepuluh tahun lebih dan lebih zalim daripada Yazid.
Kelahiran Umar bin Abdul Aziz
Saat itu, Ummi Ashim menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan. Abdul Aziz adalah Gubernur Mesir di era khalifah Abdul Malik bin Marwan (685 – 705 M) yang merupakan kakaknya. Abdul Mallik bin Marwan adalah seorang shaleh, ahli fiqh dan tafsir, serta raja yang baik terlepas dari permasalahan ummat yang diwarisi oleh ayahnya (Marwan bin Hakam) saat itu.
Dari perkawinan itu, lahirlah Umar bin Abdul Aziz. Beliau dilahirkan di Halawan, kampung yang terletak di Mesir, pada tahun 61 Hijrah. Umar kecil hidup dalam lingkungan istana dan mewah. Saat masih kecil Umar mendapat kecelakaan. Tanpa sengaja seekor kuda jantan menendangnya sehingga keningnya robek hingga tulang keningnya terlihat. Semua orang panik dan menangis, kecuali Abdul Aziz seketika tersentak dan tersenyum. Seraya mengobati luka Umar kecil, dia berujar,
Bergembiralah engkau wahai Ummi Ashim. Mimpi Umar bin Khattab insyaallah terwujud, dialah anak dari keturunanUmayyah yang akan memperbaiki bangsa ini.
Umar bin Abdul Aziz menuntut ilmu sejak beliau masih kecil. Beliau sentiasa berada di dalam majlis ilmu bersama-sama dengan orang-orang yang pakar di dalam bidang fikih dan juga ulama-ulama. Beliau telah menghafaz al-Quran sejak masih kecil. Merantau ke Madinah untuk menimba ilmu pengetahuan. Beliau telah berguru dengan beberapa tokoh terkemuka seperti Imam Malik bin Anas, Urwah bin Zubair, Abdullah bin Jaafar, Yusuf bin Abdullah dan sebagainya. Kemudian beliau melanjutkan pelajaran dengan beberapa tokoh terkenal di Mesir.
Semasa Khalifah Walid bin Abdul Malik memerintah, beliau memegang jabatan gabernur Madinah/Hijaz dan berjaya mengatur wilayah itu dengan baik. Ketika itu usianya lebih kurang 28 tahun. Pada zaman Sulaiman bin Abdul Malik memerintah, beliau dilantik menjadi menteri kanan dan penasihat utama khalifah. Pada masa itu usianya 33 tahun.

Umar bin Abdul Aziz mempersunting Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan sebagai istrinya. Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan adalah putri dari khalifah Abdul Malik bin Marwan. Demikian juga, keempat saudaranya pun semua khalifah, yaitu Al Walid Sulaiman, Al Yazid, dan Hisyam. Ketika Fatimah dipinang untuk Umar bin Abdul Aziz, pada waktu itu Umar masih layaknya orang kebanyakan bukan sebagai calon pemangku jabatan khalifah.
Pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah
Atas wasiat yang dikeluarkan oleh khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah pada usianya 37 tahun. Beliau dilantik menjadi Khalifah selepas kematian Sulaiman bin Abdul Malik tetapi beliau tidak suka kepada pelantikan tersebut. Lalu beliau memerintahkan supaya memanggil orang ramai untuk mendirikan sholat. Selepas itu orang ramai berdatangan ke masjid. Ketika mereka semua telah berkumpul, beliau bangun menyampaikan ucapan. Lantas beliau mengucapkan puji-pujian kepada Allah dan berselawat kepada Nabi s.a.w kemudian beliau berkata:
“Wahai sekalian umat manusia! Aku telah diuji untuk memegang tugas ini tanpa meminta pandangan daripada aku terlebih dahulu dan bukan juga permintaan daripada aku serta tidak dibicarakann bersama dengan umat Islam. Sekarang aku membatalkan baiat yang kamu berikan kepada aku dan pilihlah seorang Khalifah yang kamu rela”.
Tiba-tiba orang-orang berkata:
“Kami telah memilih kamu wahai Amirul Mukminin dan kami juga rela kepada kamu. Oleh yang demikian perintahlah kami dengan kebaikan dan keberkahan”.
Lalu beliau berpesan kepada semua orang supaya bertakwa, zuhud kepada kekayaan dunia dan mendorong mereka supaya cintakan akhirat kemudian beliau berkata pula kepada mereka: “Wahai sekalian umat manusia! Siapa yang taat kepada Allah, dia wajib ditaati dan siapa yang tidak taat kepada Allah, dia tidak wajib ditaati oleh siapapun. Wahai sekalian umat manusia! Taatlah kamu kepada aku selagi aku taat kepada Allah di dalam memimpin kamu dan sekiranya aku tidak taat kepada Allah, janganlah dari kalian mentaati aku”. Setelah itu beliau turun dari mimbar.
Umar rahimahullah pernah menghimpunkan sekumpulan ahli fikih dan ulama kemudian beliau berkata kepada mereka: “Aku mengumpulkan kamu semua untuk bertanya tentang perkara yang berkaitan dengan barangan yang diambil secara zalim yang masih berada bersama-sama dengan keluarga aku?” Lalu mereka menjawab: “Wahai Amirul Mukminin! perkara tersebut berlaku bukan pada masa pemerintahan kamu dan dosa kezaliman tersebut ditanggung oleh orang yang mencerobohnya.” Walau bagaimanapun Umar tidak puas hati dengan jawapan tersebut sebaliknya beliau menerima pendapat dari kumpulan yang lain termasuk anak beliau sendiri Abdul Malik yang berkata kepada beliau: “Aku berpendapat bahawa ia hendaklah dikembalikan kepada pemilik asalnya, selagi kamu mengetahuinya. Sekiranya kamu tidak mengembalikannya, kamu akan menanggung dosa bersama-sama dengan orang yang mengambilnya secara zalim.” Umar berpuas hati mendengar pendapat tersebut lalu beliau mengembalikan semua barangan yang diambil secara zalim kepada pemilik asalnya.
Sesudah Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah dan Amirul Mukminin, Umar langsung mengajukan pilihan kepada Fatimah, isteri tercinta.
Umar berkata kepadanya, “Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antar dua.”
Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?”
Umar bin Abdul Azz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai dengan Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.”
Kata Fatimah, “Demi Allah, Aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.”
Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitulmal, kas Negara kaum muslimin. Sementara Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit.
Setelah menjadi khalifah, beliau mengubah beberapa perkara yang lebih mirip kepada sistem feodal. Di antara perubahan awal yang dilakukannya ialah :
  1. menghapuskan cacian terhadap Saidina Ali bin Abu Thalib dan keluarganya yang disebut dalam khutbah-khutbah Jum'at dan digantikan dengan beberapa potongan ayat suci al-Quran
  2. merampas kembali harta-harta yang disalahgunakan oleh keluarga Khalifah dan mengembalikannya ke Baitulmal
  3. memecat pegawai-pegawai yang tidak baik, menyalahgunakan kuasa dan pegawai yang tidak layak yang dilantik atas pengaruh keluarga Khalifah
  4. menghapuskan pegawai pribadi bagi Khalifah sebagaimana yang diamalkan oleh Khalifah terdahulu. Ini membolehkan beliau bebas bergaul dengan rakyat jelata tanpa sekatan tidak seperti khalifah dahulu yang mempunyai pengawal peribadi dan askar-askar yang mengawal istana yang menyebabkan rakyat sukar berjumpa.

Selain daripada itu, beliau amat menitik beratkan tentang kebajikan rakyat miskin di mana beliau juga telah menaikkan gaji buruh sehingga ada yang menyamai gaji pegawai kerajaan.
Beliau juga amat menitikberatkan penghayatan agama di kalangan rakyatnya yang telah lalai dengan kemewahan dunia. Khalifah umar telah memerintahkan umatnya mendirikan solat secara berjammah dan masjid-masjid dijadikan tempat untuk mempelajari hukum Allah sebegaimana yang berlaku di zaman Rasulullah SAW dan para Khulafa’ Ar-Rasyidin. Baginda turut mengarahkan Muhammad bin Abu Bakar Al-Hazni di Mekah agar mengumpulkan dan menyusun hadits-hadits Raulullah SAW. Beliau juga meriwayatkan hadits dari sejumlah tabiin lain dan banyak pula ulama hadits yang meriwayatkan hadits daripada beliau.
Dalam bidang ilmu pula, beliau telah mengarahkan cendikawan Islam supaya menterjemahkan buku-buku kedoktoran dan berbagai bidang ilmu dari bahasa Greek, Latin dan Siryani ke dalam bahasa Arab supaya senang dipelajari oleh umat Islam.
Dalam mengukuhkan lagi dakwah Islamiyah, beliau telah menghantar 10 orang pakar hukum Islam ke Afrika Utara serta menghantar beberapa orang pendakwah kepada raja-raja India, Turki dan Barbar di Afrika Utara untuk mengajak mereka kepada Islam. Di samping itu juga beliau telah menghapuskan bayaran Jizyah yang dikenakan ke atas orang yang bukan Islam dengan harapan ramai yang akan memeluk Islam.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal dengan keadilannya telah menjadikan keadilan sebagai keutamaan pemerintahannya. Beliau ingin semua rakyat dilayani dengan adil tidak memandang keturunan dan pangkat supaya keadilan dapat berjalan dengan sempurna. Keadilan yang beliau perjuangan adalah menyamai keadilan di zaman kakeknya, Khalifah Umar Al-Khatab.
Pada masa pemerintahan beliau, kerajaan Umaiyyah semakin kuat tiada pemberontakan di dalaman, tidak berlaku penyelewengan, rakyat mendapat layanan yang sewajarnya dan menjadi kaya-raya sehingga Baitulmal penuh dengan harta zakat kerana tiada lagi orang yang mau menerima zakat. Rakyat umumnya sudah kaya ataupun sekurang-kurangnya mau berdikari sendiri. Pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ra, pasukan kaum muslimin sudah mencapai pintu kota Paris di sebelah barat dan negeri Cina di sebelah timur. Pada waktu itu kekausaan pemerintahan di Portugal dan Spanyol berada di bawah kekuasaannya.

Kematian beliau

Beliau wafat pada tahun 101 Hijrah ketika berusia 39 tahun. Beliau memerintah hanya selama 2 tahun 5 bulan saja. Setelah beliau wafat, kekhalifahan digantikan oleh iparnya, Yazid bin Abdul Malik.
Muhammad bin Ali bin Al-Husin rahimahullah berkata tentang beliau: “Kamu telah mengetahui bahwa setiap kaum mempunyai seorang tokoh yang menonjol dan tokoh yang menonjol dari kalangan Bani Umaiyyah ialah Umar bin Abdul Aziz, beliau akan dibangkitkan di hari kiamat kelak seolah-olah beliau satu umat yang berasingan.”


Nabi Idris as

Nabi Idris as merupakan keturunan dari Qabil dan Iqlima (putera dan puteri Nabi Adam as) kepada keturununannya inilah Idris ditugaskan Tuhan mengajak kepada kebenaran.
Nabi idris as merupakan keturunan keenam dari Nabi Adam as. Berikut merupakan Silsilah lengkap asal usul nabi idris adalah, Idris bin yarid bin Mahlail bin qainan bin anusy bin syits bin adam. Menurut kitab tafsir, nabi istris hidup seribu tahun setelah Nabi Adam as wafat.
Nabi Idris adalah orang pertama yang menerima wahyu lewat Malaikat Jibril, ketika berumur 82 tahun. Tak ada informasi tentang lokasi pasti mengenai kehidupan Idris (Hurmus al-Haramisah) yang ditugaskan untuk membenahi akhlak anak cucu Qabil ini.
Ada yang menyebut daerah Munaf, Mesir, namun adapula yang menyebut Babilonia. Yang pasti Idris yang sejak kecil belajar ilmu dari Nabi Syits (Putra Adam as), kepadanya telah diturunkan wahyu kenabian.
“Dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS. Maryam: 56-57)
Idris menurut riwayat dalam hadis Bukhari adalah kakeknya bapak Nuh a.s. berarti Nabi Idris merupakan generasi ke enam dari Adam, mengingat Nuh sendiri sebagai keturunan ke sepuluh dari Adam as.

Kisah Nabi Idris dan Malaikan maut Izroil

Setiap hari malaikat Izroid dan Nabi Idris as beribadah bersama. Suatu kali, sekali lagi Nabi Idris as mengajukan permintaan ”Bisakah engkau membawa saya melihat surga dan neraka?”
Malaikat izroil pun menjawab ”Wahai Nabi Allah, lagi lagi permintaanmu aneh”
Nabi idris pun di bawa ke tempat yang ingin dilihatnya, tentunya malaikat izrois telah memohon izin kepada Allah, dan Allah mengizinkannya.
Malaikat izroil berkata lagi ”Ya Nabi Allah, mengapa ingin melihat neraka? Bahkan para malaikat pun takut untuk melihatnya
Kemudian Nabi Idris pun menjelaskan alasannya ”Terus terang, saya takut sekali kepada azab Allah itu. Tapi mudah-mudahan, iman saya menjadi lebih tebal setelah melihatnya
Saat malaikat izroil dan Nabi Idris sampai di dekat neraka, nabi idris as langsung pingsan. Malaikat penjaga neraka merupakan sosok yang sangat menakutkan. Ia menyeret dan menyiksa manusia-manusia yang durhaka kepada Allah semasa hidupnya. Nabi Idris as tidak sanggup menyaksikan berbagai siksaan yang sangat mengerikan itu. Tidak ada pemandangan yang lebih mengerikan dibandingkan dengan neraka. Api berkobar dahsyat, bunyi yang bermuruh menakutkan dan hal-hal yang mengerikan lainnya.
Nabi idris meninggalkan neraka dengan tubuh yang lemas. Selanjutnya, Nabi Idris di bawah oleh  malaikat izroil ke surga. Malaikat Izroil mengucapkan salam kepada malaikat penjaga pintu surga yaitu Malaikat Ridwan, Assalamu’alaikum …” berbeda dengan malaikat penjaga neraka, malaikat Ridwan memiliki paras yang tampan, wajahnya selalu berseri-seri dan dihiasai dengan senyum yang ramah. Siapaun akan senang untuk memandangnya. Selain itu juga menampilkan sikap yang amat sopan, lemah lembut ketika mempersilahkan para penguni surga memasuki tempat yang penuh kedamaian dan kenikmatan itu.
Tidak berbeda saat melihat neraka, nabi idris nyaris pingsan saat melihat surga, bukan karena takut, tapi karena terpesona. Begitu indah dan menakjubkan apa yang ada di surga. Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah.. ucapan nabi Idris berulang-ulang karena ia begitu terpukau oleh keindahan surga.
Dilihatnya sunga-sungai yang airnya begitu bening seperi kaca. Sementara itu di pingir sungai terdapat pohon-pohon yang bagian batangnya terbuat dari perak dan emas. Lalu ada juga istana-istaina untuk para penghuni surga. Di setiap penjuru ada pohon yang menghasilkan buah-buahan, buahnya pun begitu segar, ranum dan harum.
Nabi idris juga mempunyai kesempatan untuk berkeliling, ia diiringin oleh para pelayan surga. Mereka merupaka para bidadari yang cantik jelita dan anak-anak mudah yang sangat tampan wajahnya. Mereka menampilkan tingkah laku yang baik, dan sopan saat berbicara. Tiba tiba nabi idris ingin meminum air sungai surga. Nabi idris pun meminta izin, ”bolehkah saya meminumnya? Airnya kelihatan sejuk dan segar sekali
Lalu malaikat izroil mengizinkannya, ”Silahkan minum, inilah minuman untuk penguni surga.” Jawab malaikat izroil. Pelayan surga datang membawa segelas minum yang terbuat dari emas dan perak. Nabi idris kemudian meminum air itu dengan nikmat. Dia begitu bersyukur diberi kesempatan bisa menikmati air minum yang begitu segar dan luar biasa enak.  Minuman yang selezat itu tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ucapan hamdalah berkali-kali pun terucap dari mulutnya ”Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah
Setelah nabi idris puas melihat surga, akhirnya tiba juga waktu baginya untuk meninggalkan surga dan kembali lagi ke bumi. Namun ia tidak mau kembali lagi ke bumi. Hatinya sudah terpikat oleh keindahan dan kenikmatan surga milik Allah yang maha kuasa.
Nabi idris as pun berkata ”Saya tidak mau keluar dari surga ini, saya ingin beribadah kepada Allah sampai hari kimata nanti,”
Malaikat izroil pun menjawab ”Tuan boleh tinggal di sini setelah kiamat nanti, setelah semua amal ibadah dihisab oleh Allah, baru tuan bisa menghuni surga bersama para Nabi dan orang beriman lainnya,”
Namun Allah merupakan Tuhan Yang Maha pengasih, terutama kebada Nabi-Nya. Allah pun mengkaruniakan sebuah tempat yang begitu mulia di langit sana, dan nabi idris merupakan satu-satunya nabi yang tinggal di surga tanpa mengalami kematian. Ketika dibawa ke tempat mulia itu, saat itu nabi idris baru berusia 82 tahun.
Ada 4 ayat dalam Al Qur an yang berhubungan dengan kisah Nabi Idris as, ayat-ayat tersebut saling terhubungan di dalam surah maryam dan surah Al-Anbiya’. ”dan ceritakanlah (hai muhammad kepada mereka, kisah) Idris yang terdapat tersebut di dalam Al Qur an. Sesungguhnya ia merupakan orang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi (Qs. 19 : 56 – 57)
Dan (ingatlah kisah) ismail, idris, dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. Kami telah memasukan mereka ke dalam rahmat Kami. Sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang sabar.” (Qs. 21 : 85 – 86)

KELEBIHAN NABI IDRIS A.s

Pertama, dia manusia pertama yang pandai baca tulis dengan pena. Kepada Idrislah Allah swt memberikan 30 sahifah alias suhuf lembaran-lembaran ajaran Tuhan, berisi petunjuk untuk disampaikan kepada umatnya.

Kedua, Nabi Idris diberi bermacam-macam pengetahuan mulai dari merancak (merawat) kuda, ilmu perbintangan (falaq), sampai ilmu berhitung alias matematika.

Ketiga, Nama Nabi Idris sendiri berasal dari kata Darasa yang artinya belajar. Idris memang sangat rajin mengkaji ajaran Allah swt yang diturunkan kepada Adam dan Nabi Syits, bahkan yang langsung kepada dirinya. Nabi Idris juga sangat tekun mengkaji fenomena alam semesta, yang semua merupakan ayat dan pertanda dari Tuhannya.

Keempat, Nabi Idris as ialah orang yang pertama pandai memotong dan menjahit pakaiannya. Orang-orang sebelumnya konon hanya mengenakan kulit binatang secara sederhana dan apa adanya untuk dijadikan penutup aurat.
Idris yang haus akan ilmu pengetahuan sehari-hari memang disibukkan oleh berbagai kepentingan, namun ia tetap selalu ingat kepada Tuhan. Dengan berbekal pengetahuan yang mencapai kelengkapan, dengan kekuatan dan kehebatan yang mumpuni.
Idris menjadi gagah berani tak takut mati, tak gentar kepada siapa saja, terutama dalam menyadarkan keturunan Qabil-Iqlima yang saat itu penuh dengan kesesatan. Dapat dipahami jika ia mendapat gelar kehormatan AsadulUsud alias “Singa di atas segala singa” dari Allah swt.
Kepada kaumnya, Idris diperintahkan memberantas kebiasaan melakukan kenistaan. Idris ditugaskan untuk membenahi pekerti rendah, zalim terhadap sesama, suka permusuhan, serta suka berbuat kerusakan. Kepada keturunan Qabil, Idris menandaskan, iman kepada Allah bisa memberikan keberuntungan. “Untuk itu wahai kaumku,” kata Idris, 
Peganglah tali agama Allah, beribdalah hanya kepada Allah. Bebaskan diri dari azab akhirat dengan cara amal saleh dan kebaikan. Zuhudlah di dunia dan berlaku adil, mengerjakan shalat sesuai dengan ajaran Tuhan. Berpuasa pada hari tertentu setiap bulan, jihad melawan musuh agama bikinan setan, serta keluarkan zakat dan sedekah membantu kaum papa dan kaum yang ditimpa kemalangan

Selain itu, Idris juga selalu menyatakan beberapa pesan kebajikan:

Pertama, salat mayit lebih sebagai penghormatan, karena pemberi syafaat hanya Tuhan sesuai ukuran amal kebajikan.

Kedua, besarnya rasa syukur yang diucapkan, tetap tidak akan mampu mengalahkan besarnya nikmat Tuhan yang diberikan.

Ketiga, sambutlah seruan Tuhan secara ikhlas, untuk shalat, puasa, maupun menaati semua perintah-Nya.

Keempat, hindari hasad alias dengki kepada sasama yang mendapat rezki, karena hakikat jumlahnya tidak seberapa.

Kelima, menumpuk numpuk harta tidak ada manfaat bagi dirinya. Keenam, kehidupan handaknya diisi hikmah kebijakan (Ma’al anbiya’ fil Quranil Karim:78)